KURIKULUM, PRINSIP,
SARANA DAN PRASARANA
PENDIDIKAN INKLUSI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan inklusi merupakan sesuatu yang baru
di dunia pendidikan Indonesia. Istilah pendidikan inklusif atau inklusi,
mulai mengemuka sejak tahun 1990, ketika konferensi dunia tentang pendidikan
untuk semua, yang diteruskan dengan pernyataan tentang pendidikan
inklusif pada tahun 1994.
Pendidikan khusus merupakan pendidikan
yang diperuntukan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam
mengikuti proses pembelajaran karena memiliki kelainan fisik, emosional,
mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Oleh
karena itu, untuk mendorong kemampuan pembelajaran mereka dibutuhkan lingkungan
belajar yang kondusif, baik tempat belajar, metoda, sistem penilaian, sarana
dan prasarana serta yang tidak kalah pentingnya adalah tersedianya media
pendidikan yang memadai sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Seiring
dengan perjalanan kehidupan sosial bermasyarakat, ada pandangan bahwa mereka
anak-anak penyandang dissabilitas dianggap sebagai sosok individu
yang tidak berguna, bahkan perlu diasingkan. Namun, seiring dengan
perkembangan peradaban manusia, pandangan tersebut mulai berbeda. Keberadaannya
mulai dihargai dan memiliki hak yang sama seperti anak normal lainnya. Hal ini
sesuai dengan apa yang diharapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat
1 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
dapat disimpulkan bahwa Negara memberikan jaminan sebenarnya kepada anak-anak
berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas. Hal
ini menunjukkan bahwa anak-anak berkebutuhan khusus mendapatkan kesempatan yang
sama dengan anak-anak normal lainnya dalam pendidikan. Hanya saja, jika
ditinjau dari sudut pandang pendidikan, karena karakteristiknya yang berbeda
dengan anak normal pada umumnya menyebabkan dalam proses pendidikannya mereka
membutuhkan layanan pendekatan dan metode yang berbeda dengan pendekatan khusus.
Pemerintah sebagai faktor utama dalam membuat
kebijaksanaan pendidikan mengupayakan program pemerataan pendidikan dengan
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif adalah suatu
kebijaksanaan pemerintah dalam mengupayakan pendidikan yang bisa dinikmati oleh
setiap warga negara agar memperoleh pendidikan tanpa memandang anak
berkebutuhan khusus dan anak normal agar bisa bersekolah dan memperoleh
pendidikan yang layak dan berkualitas untuk masa depan hidupnya dengan
memberikan pelayanan berupa kurikulum, sarana prasarana prinsip guru dan tenaga
pendidikan.
Dengan dilatarbelakangai hal tersebut maka
dirasa perlu untuk mempelajari lebih mendalam tentang kajian pendidikan
inklusif khususnya kurikulum pendidikan inklusi, prinsip-prinsip pendidikan
inklusi serta sarana dan prasarana.
B.
Rumusan Masalah
Bertolak dari latar
belakang masalah maka rumusan masalah, yakni sebagai berikut:
1.
Bagaiamana kurikulum di sekolah inklusi?
2.
Apa prinsip-prinsip pendidikan inklusi?
3.
Apa saja sarana dan prasarana di sekolah inklusi?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar
belakang tersebut, tujuan dari penyusunan makalah ini adalah
1. Untuk mengetahui kurikulum
di sekolah inklusi.
2. Untuk mengetahui prinsip-prinsip
pendidikan inklusi.
3. Untuk mengetahui sarana
dan prasarana di sekolah inklusi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Adaptasi Kurikulum dalam Pendidikan Inklusif
Kurikulum adalah seperangkat rencana
pembelajaran yang didalamnya menampung pengaturan tentang tujuan, isi, proses,
dan evaluasi.Dengan demikian kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) adalah
kurikulum yang dirancang, diberlakukan dan diimplementasikan dalam satu lembaga
atau satuan pendidikan tertentu.
Selanjutnya silabus merupakan rancangan
pembelajaran yang disusun oleh guru selama satu semester. Sedangkan RPP sebagai
rencana pembelajaran yang di susun guru untuk satu atau bebrapa pertemuan
dengan peserta didik.
1.
Model
kurikulum bagi ABK
Dalam pembelajaran inklusif model
kurikulum bagi ABK dapat dikelompokan menjadi empat, yakni:
a.
Duplikasi
Kurikulum
Yakni ABK menggunakan kurikulum yang tingkat
kesulitannya sama dengan siswa rata-rata/regular. Model kurikulum ini cocok
untuk peserta didik tunanetra, tunarungu wicara, tunadak sa, dan tunalaras. Alasannya peserta didik tersebut tidak
mengalami hambatan intelegensi. Namun demikian perlu memodifikasi proses, yakni
peserta didik tunanetra menggunkan huruf Braille, dan tunarungu wicara
menggunakan bahasa isyarat dalam penyampaiannya.
b.
Modifikasi
Kurikulum
Yakni kurikulum siswa rata-rata/regular
disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan/potensi ABK. Modifikasi kurikulum ke
bawah diberikan kepada peserta didik tunagrahita dan modifikasi kurikulum ke
atas (eskalasi) untuk peserta didik gifted and talented.
c.
Substitusi
Kurikulum
Yakni beberapa bagian kurikulum anak rata-rata
ditiadakan dan diganti dengan yang kurang lebih setara. Model kurikulum ini
untuk ABK dengan melihat situasi dan kondisinya.
d.
Omisi
Kurikulum
Yaitu bagian dari kurikulum umum untuk mata
pelajaran tertentu ditiadakan total, karena tidak memungkinkan bagi ABK untuk
dapat berfikir setara dengan anak rata-rata.
2.
Model
kurikulum pada pendidikan inklusi dapat dibagi tiga, yaitu :
a.
Model
kurikulum regular penuh
Model kurikulum reguler, yaitu kurikulum
yang mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti
kurikulum reguler sama seperti kawan-kawan lainnya di dalam kelas yang sama.
·
Keunggulan:
Peserta
didik berkebutuhan khusus dapat mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
(Freiberg, 1995)
·
Kelemahan:
Peserta
didik berkebutuhan khusus harus menyesuaikan diri dengan metode pengajaran dan
kurikulum yang ada. Pada saat-saat tertentu, kondisi ini dapat menyulitkan
mereka. Misalnya, saat siswa diwajibkan mengikuti mata pelajaran ”menggambar.”
Karena memiliki hambatan penglihatan, tentu saja siswa disability tidak bisa
”menggambar.” Tapi, karena mata pelajaran ini wajib dengan kurikulum yang
”ketat”, ”tidak fleksibel,” tidaklah dimungkinkan bagi guru maupun siswa
disability untuk melakukan ”adaptasi atau subsitusi” –untuk mata pelajaran
”menggambar” tersebut.
b.
Model
kurikulum regular dengan modifikasi
Model
kurikulum reguler dengan modifikasi, yaitu kurikulum yang dimodifikasi oleh
guru pada strategi pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada program tambahan
lainnya dengan tetap mengacu pada kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus.
Di dalam model ini bisa terdapat siswa berkebutuhan khusus yang memiliki PPI.
·
Keunggulan:
Peserta
didik berkebutuhan khusus dapat diberi pendidikan yang sesuai dengan
kebutuhannya.
·
Kelemahannya:
Tidak
semua guru di sekolah regular paham tentang ABK. Untuk itu perlu adanya sosialisasi
mengenai ABK dan kebutuhannya.
c.
Model
kurikulum PPI
Model
kurikulum PPI yaitu kurikulum yang dipersiapkan guru program PPI yang
dikembangkan bersama tim pengembang yang melibatkan guru kelas, guru pendidikan
khusus, kepala sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang terkait.
Kurikulum
PPI atau dalam bahasa Inggris Individualized Education Program (IEP)
merupakan karakteristik paling kentara dari pendidikan inklusif. Konsep
pendidikan inklusif yang berprinsip adanya persamaan mensyaratkan adanya
penyesuaian model pembelajaran yang tanggap terhadap perbedaan individu. Maka
PPI atau IEP menjadi hal yang perlu mendapat penekanan lebih. Thomas M.
Stephens menyatakan bahwa IEP merupakan pengelolaan yang melayani kebutuhan
unik peserta didik dan merupakan layanan yang disediakan dalam rangka
pencapaian tujuan yang diinginkan serta bagaimana efektivitas program tersebut
akan ditentukan.
PPI merupakan dokumen
tertulis yang dikembangkan dalam suatu rencana pembelajaran bagi anak
berkebutuhan khusus (child with special need). Mercer and Mercer (1989),
mengemukakan bahwa “program individualisasi merujuk kepada suatu program
pengajaran dimana siswa bekerja dengan tugas-tugas yang sesuai dengan kondisi
dan motivasinya”. Sejalan dengan pendapat tersebut dikemukakan oleh Lynch (1994:47)
mengemukakan bahwa IEP merupakan suatu kurikulum atau suatu program
pembelajaran yang didasarkan kepada gaya, kekuatan dan kebutuhan-kebutuhan
khusus anak dalam belajar. Ini menunjukkan bahwa PPI pada prinsipnya adalah
suatu program pembelajaran yang didasarkan kepada setiap kebutuhan individu
(anak). Kedua pandangan di atas mengandung pengertian bahwa siswalah yang harus
mengendalikan program, bukan program yang mengendalikan siswa.
PPI / IEP disusun untuk
memenuhi kebutuhan pembelajaran setiap anak dalam upaya mengembangkan
potensinyamenurut Getskow dan Konczal (1996:21) mengungkapkan bahwa “Mandates a
series of steps that must be taken before a child with special needs can
receive services. The following steps and terminology are described and
outlined for the adult unfamiliar with the process” disini dijabarkan serangkaian
langkah-langkah yang harus diambil sebelum anak dengan kebutuhan khusus dapat
menerima layanan dengan mengikuti langkah-langkah dan terminologi dijelaskan yang
diuraikan dibawah ini:
WritenAssassment Informed Assessment Team DevelopmentIEP IEP
Referral PlanConsent meetingof IEPimplementation review
Parents
Teacher
agency
|
·
Conference with parent
·
Reason for assessment
·
Selection of appropriate
tests and who will test the child
|
·
Must have parent or
guardian signature before continuing with testing
·
Notice of parent’s rights
|
May include:
·
information shared by
parents
·
health study
·
observations
·
formal testing
·
other agency assessments
|
·
Egibility is determined
·
IEP goals and objectives
are developed
·
Placement and services are determined
·
Statement of the extent the
child will participate in regular educational program
·
Date when the special
educational services begin and are projected to end
·
Notices of rights and
copies of reports signed
·
Annual evaluation
procedures explained
·
Yearly review date set
|
·
Teacher and parent share
results
·
Adjustments can be made
|
Transition services discussed
|
Langkah-langkah
IEP di atas yang pertama yaitu guru dan orang tua merujukan siswa ke sekolah
inklusi yang dituju sesuai dengan pendapat Muhammad (2008:35) mengungkapkan
bahwa:
“Kolaborasi atau
kesepakatan antara guru dan orangtua berperan penting dalam pendidikan anak
dengan kebutuhan khusus karena kolaborasi keduanya dapat menambahkan
efektivitas pembelajaran, di samping meningkatkan pelayanan pendiidkan.
Tanggung jawab dalam mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus adalah tanggung
jawab yang harus dipikul bersama, baik oleh guru, orangtua, maupun seluruh
masyarakat”.
Adanya
kerjasama antara orang tua dan guru akan ada keterbukaan untuk mrngidentifikasi
langkah yang harus ditempuh selanjutnya dalam penerapan pembelajaran yang
sesuai dengan kebutuhan anak. Kedua yaitu merencanakan penilaian dimana dalam
rencana penilaian dilaksanakan pertemuan dengan orang tua untuk memberikan
alasan tentang penilaian tersebut serta pemilihan tes yang sesuai dan yang akan
menguji anak tersebut.
Langkah
ketiga penjelasan dan persetujuan dimana anak harus memiliki orang tua atau
wali yang bertanda tangan sebelum melanjutkan dengan pengujian serta
pemberitahuan mengenai hak orang tua.
Keempat
yaitu melakukan penilaian terhdap siswa.
Kelima
pertemuan dengan tim yaitu mungkin termasuk informasi bersama oleh orang tua,
tentang kesehatan anak, pengamatan, pengujian formal ataupun penilaian lembaga
lain.
Keenam
pengembangan IEP dimana pada tahap ini menentukan kelayakan, tujuan dan sasaran
IEP dikembangkan, mementukan penempatan dan jasa, pendapat sejauh anak akan
berpartisipasi dalam program pendidikan reguler, tanggal saat pendidikan khusus
mulai dan diproyeksikan untuk mengakhiri, pemberitahuan hak dan salinan laporan
yang ditandatangani, menjelaskan prosedur evaluasi tahunan , pengaturan ulasan
tanggal tahunan.
Langkah
ketujuh yaitu pelaksanaan IEP dimana guru dan orangtua mendiskusikan hasil
siswa dan penyesuaian. Laangkah terahir yaitu pemmeriksaan kembali IEP yaitu
membahas peralihan belajar siswa.
Sedangkan
menurut Kitano and Kirby (1986: 219) ada lima langkah yang harus dilakukan
untuk mengembangkan program pembelajaran yang diindividualisasikan, yaitu: 1)
pembentukan tim PPI, 2) asesmen (menilai) kebutuhan khusus anak, 3)
mengembangkan tujuan jangka panjang dan pendek, 4) merancang metode dan
prosedur pembelajaran, dan 5) melakukan evaluasi kemajuan belajar anak. Senada
dengan pernyataan Rocyadi dan Alimin (2005:21).Langkah- langkah pengembangan
rancangan PPI setidaknya memperhatikan 6 (enam), yaitu: a) asesmen, 2) merumuskan
tujuan jangka panjang, 3) merumuskan tujuan jangka pendek, 4) menetapkan materi
pembelajaran, 5) menetapkan kegiatan pembelajaran, 6) evaluasi kemajuan hasil
belajar.
Pola
pembelajaran yang harus disesuaikan dengan anak berkebutuhan khusus biasa disebut
denganIndividualized Education Program (IEP) atau Program
Pembelajaran Individual (PPI). Program Pembelajaran Individual meliputi enam
komponen, yaitu elicitors, behaviors, reinforcers, entering behavior,
terminal objective dan enroute. Secara terperinci, keenam
komponen tersebut yaitu:
1.
Elicitors, yaitu peristiwa atau kejadian yang
dapat menimbulkan atau menyebabkan perilaku
2.
Behaviors, merupakan kegiatan peserta didik
terhadap sesuatu yang dapat ia lakukan
3.
Reinforcers, suatu kejadian atau peristiwa yang
muncul sebagai akibat dari perilaku dan dapat menguatkan perilaku tertentu yang
dianggap baik
4.
Entering
behavior, kesiapan
menerima pelajaran
5.
Terminal
objective, sasaran
antara dari pencapaian suatu tujuan pembelajaran yang bersifat tahunan
6.
Enroute, langkah dari entering
behavior menujut ke terminal objective
Berdasarkan UNESCO
(1998:203) bahwa “Kurikulum Program Pendidikan Individual (PPI) atau
Indivilized Educational Program (IEP) diperuntukan bagi peserta didik yang
memang tidak memungkinkan menggunakan kurikulum reguler maupun modifikasi.
Tingkat kebutuhan pelayanan khususnya termasuk kompleks”. Kurikulum disini
terdapat kurikulum reguler yaitu kurikulum utuh, kemudian kurikulum modifikasi
yaitu kurikulum reguler yang dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan anak dan yang
terakhir yaitu kurikulum Kurikulum Program Pendidikan Individual (PPI) atau
Indivilized Educational Program (IEP) yang dikhususkan bagi peserta didik
sesuai dengan kecacatannya.
Model
pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus harus memperhatikan prinsip umum dan
prinsip khusus. Prinsip umum pembelajaran meliputi motivasi, konteks,
keterarahan, hubungan sosial, belajar sambil bekerja, individualisasi,
menemukan, dan prinsip memecahkan masalah. Prinsip umum ini dijalankan ketika
anak berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan anak reguler dalam satu
kelas. Baik anak reguler maupun anak berkebutuhan khusus mendapatkan program
pembelajaran yang sama. Prinsip khusus disesuaikan dengan karakteristik
masing-masing peserta didik berkebutuhan khusus. Prinsip khusus ini dijalankan
ketika peserta didik berkebutuhan khusus membutuhkan pembelajaran individual
melalui Program Pembelajaran Individual (IEP).
·
Keunggulan:
Peserta
didik mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan.
·
Kelemahan:
Guru
kesulitan dalam menyusun IEP dan sangat membutuhkan waktu yang banyak.
3. Perbedaan Ketiga Model Kurikulum
Perbedaan
dari ketiganya sudah nampak pada pengertiannya, yakni :
1.
Model
kurikulum regular penuh, Peserta didik yang berkebutuhan khusus mengikuti
kurikulum reguler ,sama seperti teman-teman lainnya di dalam kelas yang sama.
Program layanan khususnya lebih diarahkan kepada proses pembimbingan belajar,
motivasi dan ketekunan belajar.
2.
Model
kurikulum regular dengan modifikasi, kurikulum regular dimodifikasi oleh
guru dengan mengacu pada kebutuhan siswa berkebutuhan khusus.
3.
Model
kurikulum PPI, kurikulum disesuaikan dengan kondisi peserta didik yang
melibatkan berbagai pihak. Guru mempersiapkan Program Pembelajaran Individual
(PPI) yang dikembangkan bersama tim pengembang Kurikulum Sekolah. Model ini
diperuntukan bagi siswa yang tidak memungkinkan mengikuti kurikulum reguler.
B.
Prinsi-Prinsip
Pembelajaran ABK dalam Pembajaran Inklusif
Dalam tataran praktis pembelajaran, inklusi
merupakan suatu perubahan yang dapat menguntungkan tidak hanya anak
berkebutuhan khusus akan tetapi juga anak pada umumnya dalam
kelas. Prinsip paling mendasar dalam pendidikan inklusif adalah bagaimana
agar peserta didik dapat belajar bersama, belajar untuk dapat hidup bersama.
Johnsen dan Miriam Skojen dalam Syafei (2003) menjabarkan dalam tiga prinsip,
yaitu (1) bahwa setiap anak termasuk dalam komunitas setempat dan dalam suatu
kelas atau kelompok, (2) bahwa hari sekolah diatur penuh dengan
tugas-tugas pembelajaran koopertif dengan perbedaan pendidikan dan
fleksibilitas dalam memilih dengan sepuas hati, dan (3) guru bekerja bersama
dan mendapat pengetahuan pendidikan umum, khusus dan teknik belajar individu
serta keperluan-keperluan pelatihan dan bagaimana mengapresiasikan
keanekaragaman dan perbedaan individu dalam pengorganisasin kelas.
1.
Prinsip-prinsip
pendidikan inklusif
Sementara
itu, Mulyono dalam Ambarwati (2005) mengidentifikasikan prinsip pendidikan inklusif
ke dalam sembilan elemen dasar yang memungkinkan pendidikan inklusif
dapat dilaksanakan.
a.
Sikap guru
yang positif terhadap kebhinekaan
Elemen paling penting dalam pendidikan
inklusif adalah sikap guru terhadap siswa yang membutuhkan layanan pendidikan
khusus. Sikap guru tidak hanya berpengaruh
terhadapclassroom setting tetapi juga dalam pemilihan strategi
pembelajaran.
Sikap positif guru terhadap
keragaman kebutuhan siswa dapat ditingkatkan dengan cara
memberikan informasi yang akurat tentang siswa dan cara
penanganannya (Johnson & Johnson, 1984 dalam Ambarwati, 2005).
b.
Interaksi
promotif
Penyelenggaraan pendidikan
inklusif menuntut adanya interaksi promotif antara siswa. Yang
dimaksud interaksi promotif adalah upaya untuk saling menolong dan saling
memberi motivasi dalam belajar. Interaksi promotif hanya dimungkinkan jika
terdapat rasa saling menghargai dan saling memberikanurunan dalam
meraih keberhasilan belajar bersama. Interaksi promotif pada hakekatnya
sama dengan interaksi transpersonal, yaitu interaksi yang didasarkan atas
rasa saling menghormati, tidak hanya terhadap sesama manusia tetapi
juga sesama makluk ciptaan Tuhan. Interaksi promotif
hanyadi mungkinkan jika guru menciptakan suasana belajar kooperatif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwadalam suasana belajar kooperatif, siswa cenderung
memperoleh prestasi belajar matematika lebih tinggi dari pada dalam
suasana belajar kompetitif (Mulyono, 1994).
Dalam pendidikan inklusif, suasana belajar
kooperatif harus dominan sedangkan suasanabelajar kompetitif hanya untuk
bersenang-senangatau untuk selingan atau untuk materi belajar yang
membosankan. Hasil penelitian Johnson & Johnson (Ambarwati, 2005)
menunjukkan bahwa suasana belajar kompetitif dapat menimbulkan perasaan
rendah diri bagi siswa yang memiliki kemampuan kurang.
Lebih lanjut hasil penelitian Mulyono
(1994) menunjukkan bahwa para guru umumnya lebih menyukai pembelajaran
kompetitif dan tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai
dalam penyelenggaraan pembelajaran kooperatif.Padahal, pembelajarankompetitif
dalam kelompok heterogen dapat menghancurkanrasa harga diri siswa yang
berkekurangan dan merasa bosan terhadap siswa yang memiliki
keunggulan. Perasaan rendah diri dan perasaan bosan merupakan elemen yang
merusak untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik. Kompetisi bukan
tidak bermanfaat tetapi hanya untuk kelompok yang homogen yang
memungkinkan semua anggota berkompetisi memiliki peluang yang relatif sama
untuk menang dan kalah. Menguatkan pembahasan ini, sekali lagi hasil
penelitian Mulyono (1994) menunjukkan bahwa interaksi kompetitif yang
efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran adalah kompetisi antar siswa
yang mempunyai kemampuan seimbang, kompetisi dengan standar nilai minimum,
dan yang terbaik adalah kompetisi dengan diri sendiri.
c.
Pencapaian
kompetensi akademik dan sosial
Pendidikan inklusif tidak hanya menekankan
pencapaian tujuan dalam bentuk kompetensi akademik tetapi juga kompetensi
sosial. Oleh sebab itu, perencanaan pembelajaran harus melibatkan tidak
hanya pencapaian tujuanakademik (academic
objectives) tetapi juga tujuan keterampilan bekerjasama (collaborative skills
objectives). Tujuan keterampilan bekerjasama
mencakup keterampilan memimpin, memahami perasaan orang lain, menghargai
pikiran orang lain, dan tenggang rasa.
d.
Pembelajaran
adaptif
Ciri khas dari pendidikan inklusif
adalah tersedianya program pembelajaranyang
adaftif atau program pembelajaran individual (individualized instructional
programs). Program pembelajaran adaptif tidak hanya ditujukan kepada
peserta didik dengan problema belajar tetapi juga untuk peserta didik
yang dikaruniai keunggulan. Penyusunan program pembelajaran adaptif
menuntut keterlibatan tidak hanya guru kelas atau guru bidang studi tetapi juga
guru PLB, orangtua, guru BK, dan ahli-ahli lain yang terkait.
e.
Konsultasi
kolaboratif
Konsultasi kolaboratif (collaborative consultation) adalah
saling tukar informasi antar profesional dari semua disiplin yang terkait
untuk memperoleh keputusan legal dan instruksional yang berhubungan dengan
siswa yang membutuhkan layanan pendidikan khusus. Yang
dimaksud dengan profesional dalam hal ini adalah guru PLB, guru
kelas atau guru bidang studi, konselor, psikolog, dan atau ahli-ahli
lain yang terkait. Beberapa ahli telah mengembangkan model konsultasi
kolaboratif untuk melakukan tindakan pencegahan dan rahabilitasi siswa
yang membutuhkan layanan pendidikan khusus di kelas reguler. Berdasarkan
model yang mereka buat guru PLB dan guru reguler bersama anggota tim
lainnya melakukan diskusi untuk menentukan sifat dan
ukuran-ukuraaan yang dipergunakan untuk menentukan masalah siswa,
memilih dan merekomendasikan tindakan, merencanakan danmengimplementasikan
program pembelajaran, dan melakukan evaluasi hasil intervensi serta
melakukan perencanaan ulang jika diperlukan.
f.
Hidup
dan belajar dalam masyarakat
Dalam pendidikan inklusif kelas harus
merupakan bentuk mini dari suatu kehidupan masyarakat yang diidealkan. Di
dalam kelas diciptakan suasana yang silih asah, silih asih, dan silih asuh.
Dengan kata lain, suasana belajar yang kooperatif harus diciptakan
sehingga di antara siswa terjalin hubungan yang saling menghargai.
Semua siswa tidak peduli betapapun perbedaannya, harus
dipandang sebagai individu unik yang memiliki potensi kemanusiaan yang
harus dikembangkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan.
g.
Hubungan
kemitraan antara sekolah dengan keluarga.
Keluarga merupakan fondasi tempat anak-anak
belajar dan berkembang. Begitu pula dengan sekolah, juga tempat
anak belajar danberkembang. Keduanya memiliki fungsi yang
sama.Perbedaannya, pendidikan dalam keluarga tidak terprogram dan terukur
sedangkan di sekolah pendidikan lebih banyak dilakukan secara terprogram
dan terukur atau yang biasa disebut denganpembelajaran. Karena kedua lembaga
tersebut hakekatnyamempunyai fungsi yang sama, maka keduanya harus menjalin
hubungan kemitraan yang erat dalam upaya memberdayakan semua potensi
kemanusiaan siswa agar dapat berkembang optimal dan terintegrasi. Keluarga
memiliki informasi yang lebih akurat mengenai keunikan, kekuatan, dan
minat anak, sedangkan sekolah memiliki informasi yang lebih akurat
mengenai prestasi akademik siswa. Informasi mengenai anak yang dimiliki
oleh keluarga merupakan landasan penting bagi
penyelenggaraan pendidikan inklusif.
h.
Belajar
dan berfikir independen.
Dalam pendidikan inklusif guru mendorong
agar siswa mencapai perkembangan kognitif taraf tinggi dan kreatif agar mampu
berfikir independen. Berkenaan dengan semakin majunya ilmu dan teknologi,
pendidikan inklusif sangat menekankan agar siswa memiliki keterampilan
belajar dan berpikir. Guru hendaknya juga mengetahui
bahwahasil-hasil penelitian mengenai anak-anak kesulitan belajar(students
with learning difficulties) menunjukkan bahwa mereka umumnya
pasif dalam belajar, kurang mampu melakukan control diri,cenderung bergantung (dependent),dan
kurang memiliki strategi untuk belajar. Sehubungan dengan karakteristik
siswa berkesulitan belajar semacam itu maka guru perlu
memiliki kemampuan untuk memberikan dorongan atau motivasi dengan menerapkan
berbagai teknik, terutama yang berkenaan dengan manajemen perilaku atau
memodifikasi perilaku.
i.
Belajar
sepanjang hayat
Pendidikan inklusif memandang pendidikan di
sekolah sebagai bagian dari perjalanan panjang hidup seorang manusia; dan
manusia belajar sepanjang hidupnya (lifelong learning). Belajar
sepanjang hayat memiliki makna yang melampaui sekedar menguasai berbagai
kompetensi yang menjadi tuntutan kurikulum dan upaya untuk naik kelas.
Belajar sepanjang hayat pada hakekatnya adalah belajar untuk berfikir kritis
dan belajar untuk menyelesaikan berbagai masalah kehidupan. Oleh karena
itu, pendidikan inklusif menekankan pada pengalaman belajar
yang bermanfaat bagi kelangsungan proses belajar peserta didik
dalam kehidupan masyarakat.
2.
Prinsip-prinsip
Pembelajaran di Sekolah Inklusi
a.
Tuna
Laras
1)
Prinsip
Kebutuhan dan Keaktifan
Anak tunalaras selalu ingin memenuhi kebutuhan
dan keinginannya tanpa memperdulikan kepentingan orang lain. Untuk memenuhi
Kebutuhannnya itu, ia menggunakan kesempatan yang ada tanpa mengingat
kepentingan orang lain. Kalau perlu melanggar semua peraturan yang ada meskipun
ia harus mencuri misalnya. Hal ini jelas merugikan baik diri sendiri maupun
orang lain. Oleh karena itu, guru harus memberi keaktifan kepada siswa supaya
kebutuhannya terpenuhi dengan mempertimbangkan norma-norma kemasyarakatan,
agama, peraturan perundangan-undangan yang berlaku, segingga dalam memenuhi
keinginan dan kebutuhannya tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.
2)
Prinsip
Kebebasan yang Terarah
Anak tunalaras memiliki sikap tidak mau
dikekang. Ia selalu menggunakan peluang yang ada untuk berbuat sesuatu sehingga
hatinya merasa puas. Oleh karena itu, guru harus berhati-hati ketika akan
melarangnya. Nasehatilah kalau memang perlu dilarang. Di samping itu, guru
hendaknya mengarahkan dan menyalurkan segala perilaku anak ke arah positif yang
berguna, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
3)
Prinsip
Penggunaan Waktu Luang
Anak tunalaras biasanya tidak bisa diam, dia
termasuk hiperaktif. Ada saja yang dikerjakan. Bahkan solah-olah mereka
kekurangan waktu sehingga lupa tidur, istirahat, dan sebaginya. Oleh karena
itu, guru harus membimbing anak degan mengisi waktu luangnya untuk
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat.
4)
Prinsip
Kekeluargaan dan Kepatuhan
Anak tunalaras berasal dari keluarga yang tidak
harmonis, hubungan orang tua retak (broken home). Akibatnya emosinya tidak
laras, jiwanya tidak tenang, rasa kekeluargaannyatidak berkembang, merasa
hidupnya tidak berguna. Akibat lebih jauh mereka bersifat perusak, benci kepada
orang lain. Oleh karena itu, guru harus dapat meyelami jiwa anak, dimana letak
ketidakselarasaan kehidupan emosinya. Selanjutnya, mengembalikannya kepada
kehidupan emosi yang tenang, laras, sehingga rasa kekeluargaanya menjadi pulih
kembali. Misalnya siswa disuruh membaca cerita yang edukatif, memelihara
binatang, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya.
5)
Prinsip
Setia Kawan dan Idola serta Perlindungan
Karena tinggal di rumah tidak tahan, anak
tunalaras biasanya lari keluar rumah. Kemudian ia bertemu dengan orang-orang
(kelompok) yang dirasa dapat memebuat dirinya merasa aman. Di dalam kelompok
tersebuat ia merasa menemukan tempat berlindung menggantikan orang tuanya, ia
merasa tentram, timbul rasa setia kawan. Karena setianya kepada kelompok, ia
berbuat apa saja sesuai perintah katua kelompoknya yang dijadikan idolanya.
Oleh karena itu, guru hendaknya secara perlahan-lahan berupaya menggantikan
posisi ketua kelompoknya, menjadi tokoh idola siswa, dengan cara melindungi
siswa, dan berangsur-angsur kelompoknya berganti dengan teman-teman sekelasnya,
dan setia kawannya berganti kepada teman-teman sekelasnya, yang pada akhirnya
mereka akan merasa senang bersekolah.
6)
Prinsip
Minat dan Kemampuan
Guru harus memperhatikan minat dan kemampuan
anak terutama yang berhubungan dengan pelajaran. Jangan sampai karena
tugas-tugas (PR) yang diberikan oleh terlalu banyak, akhirnya justru mereka
benci kepada guru atau benci kepada pelajaran tertentu. Sebaliknya, guru harus
menggali minat dan kemampuan siswa terhadap pelajaran, untuk dijadikan dasar
memberi tugas-tugas tertentu. Dengan memberi tugas yang sesuai, mereka akan
merasa senang, yang pada akhirnya lama-kelamaan mereka akan terbiasa belajar.
7)
Prinsip
Emosional, Sosial, dan Perilaku
Karena problem emosi yang disandang anak tunalaras,
maka ia mengalami ketidakseimbangan emosi. Akibatnya siswa berprilaku
menyimpang baik secara individual maupun secara sosial dalam pergaulan hidup
bermasyarakat. Oleh karena itu, guru harus berusaha mengidentifikasi problem
emosi yang disandang anak, kemudian berupaya menghilangkannya untuk diganti
dengan sifat-sifat yang baik sesuai dengan norma-norma yang erlaku di
masyarakat dan agama, dengan cara diberi tugas-tugas tertentu yang terpuji,
baik secara individual maupun secara kelompok.
8)
Prinsip
Disiplin
Pada umumnya anak tunalaras ingimn memanfaatkan
kesempatan yang ada untuk memenuhi keinginannya,tanpa mengindahkan norma-norma
yang berlaku, sehingga ia hidup lepas dari disiplin. Sikap ketidaktaatan dan
lepas dari aturan merupakan sikap hidupnya sehari-hari. Oleh karena itu, guru
perlu membiasakan siswa untuk hidup teratur dengan selalu diberi keteladanan
dan pembinaan dengan sabar.
9)
Prinsip
Kasih Sayang
Anak tunalaras umumnya haus akan kasih sayang,
baik dari orang tua maupun dari keluarganya. Akibatnya anak akan selalu mencari
kasih sayang dan menumpahkan keluhannya di luar rumah. Kalau ia tidak
menemukannya akan menjadi agresif, cenderung hiperaktif, atau sebaliknya ia
menjadi rendah diri, pendiam, atau meyendiri. Oleh karena itu, guru supaya
mendekati anak dengan penuh kasih sayang, kesabaran, sehingga kekosongan jiwa
anak akan teisi atau terobati. Akibatnya, anak akan rajin ke sekolah karena
merasa ada tempat untuk mencurahkan perasaanya. Pada akhirnya mereka akan
menuruti nasehat guru untuk rajin belajar.
b.
Tuna Rungu
Pembelajaran yang dilakukan bagia siswa
mendengar berbeda dengan pembelajaran bagi anak tunarungu, anak tunarungu lebih
mengandalkan visualnya serta pembelajaran dapat mudah dipahami jika guru
melakukan prinsip-prinsip di bawah ini:
1)
Prinsip
keterarahwajahan
Dalam menyampaikan materi pembelajaran, guru
harus berdiri di depan sehingga wajah guru khususnya mulut guru dapat dilihat
oleh anak tunarungu tanpa terhalang apapun, sehingga anak tunarungu dapat
memahami apa yang disampaikan oleh gurunya.Hindari memberikan penjelasan sambil
berjalan baik di depan kelas maupun ke belakang kelas.Ketika berbicara dengan
tunarungu harus berhadapan langsung (face to face) sehingga pesan yang
disampaikan dapat dipahami dan pembelajaran dapat lebih dimengerti.
2)
Prinsip
keterarahsuaraan
Bagi anak tunarungu suara tidak perlu keras dan
kencang, namun guru harus berbicara jelas dengan artikulasi yang tepat sehingga
dapat dipahami oleh tunarungu. Dengan demikian pembelajaran yang dilakukan
tidak sia-sia.
3)
Prinsip
Intersubyektifitas
Dalam pembelajaran guru dan siswa tunarungu
sebagai unsur yang penting harus dapat membangun suatu kesamaan dalam proses
pengamatan, apa yang akan diucapkan oleh anak dengan perantara visualnya harus
segera direspon dan dibahasakan kembali oleh guru.
4)
Prinsip
kekonkritan
Dalam memberikan pembelajaran kepada anak
tunarungu harus konkrit hal ini dikarenakan anak tunarungu daya abstraksinya
rendah dibandingkan anak mendengar karena minimnya bahasa yang dimiliki. Segala
sesuatu yang diajarkan hendaknya disertai dengan contoh-contoh nyata dan yang
mudah dipahami.
5)
Prinsip
Visualisasi
Pendengaran anak tunarungu tidak dapat berfungsi
maka melalui indera penglihatannya anak tunarungu berusaha memperoleh
informasi, untuk itu semua pembelajaran yang diberikan oleh guru hendaknya
dapat diilustrasikan dalam bentuk gambar yang bercerita tentang materi yang
diberikan atau lebih dikenal dengan visualisasi yang berguna untuk memudahkan
anak tunarungu mengerti akan maksud dan isi pembelajaran.
6)
Prinsip
Keperagaan
Setiap kata yang keluar dari mulut guru
hendaknya diulas lebih lanjut hingga anak tunarungu betul-betul paham maksud
dari kata tersebut, kemudian memperagaan atau mempraktekkannya akan lebih
memudahkan anak tunarungu untuk mengerti apa yang diajarkan serta upayakan
semua pembelajaran yang dilakukan dapat diperagakan secara pengalaman oleh anak
sehingga anak mudah memahami dan mengerti apa yang diajarkan guru.
7)
Prinsip
pengalaman yang menyatu
Pengalaman visual cenderung menyatukan informasi
yang diterima, Mengajak anak tunarungu untuk “mengalami” secara nyata dapat
memudahkan anak untuk mengerti akan hubungan-hubungan yang ada.
8)
Prinsip
belajar sambil melakukan
Pembelajaran hendaknya dapat bermakna bagi semua
siswa tidak terkecuali bagi anak tunarungu, untuk itu segala sesuatu yang
dipelajari harus dapat dipraktekkan dan dilakukan oleh anak tunarungu.
Penggunaan strategi pembelajaran yang langsung melibatkan anak lebih bermanfaat
dibandingkan anak hanya mendengarkan saja.
c.
Tuna Daksa
Ada beberapa prinsip utam dalam memberikan
pendidikan pada anak tuna daksa, diantaranya sebagai berikut:
1)
Prinsip
multisensory (banyak indra)
Proses pendidikan anak tuna daksa sedapat
mungkin memanfaatkan dan mengembangkan indra-indra yang ada dalam diri anak
karena banyak anak tun daksa yang mengalami gangguan indra. Dengan pendekatan
multisensory, kelemahan pada indra lain dapat difungsikan sehingga dapat
membantu proses pemahaman
2)
Prinsip
individualisasi
Individualisasi mengandung arti bahwa titik
tolak layanan pendidikan adalah kemampuan anak secara individu. Model layanan
pendidikannya dapat berbentuk klasikal dan individual. Dalam model
klasikal, layanan pendidikan diberikan pada kelompok individu yang cenderung
memiliki kemampuan yang hampir sama, dan bahan pelajaran yang diberikan pada
masing-masing anak sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
d.
Tunagrahita/Anak lamban belajar (Slow learner)
1)
Prinsip Kasih Sayang
Tunagrahita/anak lamban belajar adalah anak yang
mengalami kelainan/penyimpangan dalam segi intelektual (inteligensi), yakni
inteligensinya di bawah rata-rata anak seusianya (di bawah normal). Akibatnya,
dalam tugas-tugas akademik yang menggunakan intelektual, mereka senang
mengalami kesulitan. Oleh karena itu. kadang-kadang guru merasa jengkel karena
diberi tugas yang menurut perkiraan guru sangat mudah sekalipun. mereka tetap
saja kesulitan dalam menyelesaikannya.
Untuk itu, mengajar anak tunagrahita/lamban
belajar membutuhkan kasih sayang yang tulus dan
guru. Guru hendaknva berbahasa yang lembut, tercapai sabar, rela berkorban, dan
memberi contoh perilaku yang baik ramah, dan supel, sehingga siswa tertarik dan
timbul kepercayaan yang pada akhirnya bersemangat untuk melakukan saran-saran
dan guru.
2)
Prinsip Keperagaan
Kelemahan anak Tunagrahita/lamban belajar antara
lain adalah dalam hal kemampuan berfikir abstrak, Mereka sulit membayangkan
sesuatu. Dengan segala keterbatasannya itu, siswa tunagrahita/lamban belajar
akan lebih mudah tertarik perhatiannva apabila dalam kegiatan belajar-mengajar
menggunakan benda-benda konkrit maupun berbagai alat peraga (model) yang
sesuai.
Hal ini menuntut guru agar dalam kegiatan
belajar mengajar selalu rnengaitkan relevansinya dengan
kehidupan nyata sehari-hari. Oleh karena itu, anak perlu di bawa ke lingkungan
nyata, baik lingkungan fisik, lingkungan sosial, maupun lingkungan alam. Bila
tidak memungkinkan, guru dapat membawa berhagai alat peraga.
3)
Prinsip Habilitasi dan Rehabilitasi
Meskipun dalam bidang akademik anak tunagrahita
memiliki kemampuan yang terbatas, namun dalam bidang-bidang lainnya mereka
masih memiliki kemampuan atau potensi yang masih dapat dikembangkan.
Habilitasi adalah usaha yang dilakukan seseorang
agar anak menyadari bahwa mereka masih memiliki kemampuan atau potensi yang
dapat dikembangkan meski kemampuan atau potensi tersebut terbatas. Rehabilitasi
adalah usaha yang dilakukan dengan berbagai macam bentuk dan cara, sedikt demi
sedikit mengembalikan kemampuan yang hilang atau belum berfungsi optimal.
Dalam kegiatan
belajar-mengajar, guru hendaknya berusaha mengembangkan kemampuan atau potensi
anak seoptimal mungkin. melalui berbagai cara yang dapat ditempuh.
e.
Anak
Berbakat
1)
Prinsip
Percepatan (AkseIeras) Be1ajar.
` Anak berbakat adalah anak yang
memiliki kemampuan (intelegensi), kreatvitas, dan tanggung jawab (task
commitmeni) terhadap tugas di atas anak-anak seusianya. Salah satu
karakteristik yang sangat menonjol adalah mereka memiliki kecepatan belajar di
atas kecepatan belajar anak seusianya. Dengan diterangkan sekali saja oleh
guru. mereka telah dapat menangkap maksudnya: sementara anak-anak yang lainnya
masih perlu dijelaskan lagi oleh guru. Pada saat guru mengulangi penjelasan
kepada teman-temannya itu, mereka memiliki waktu tertuang. Bila tidak
diantisipasi oleh guru, kadang-kadang waktu tertuang ini dimanfaatkan untuk
aktivitas sekehendaknya., misalnya melempar benda-benda kecil kepada teman
dekatnya. mencubit teman kanan-kirinya, dan sebagainya.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak dikehendaki,
dalam proses belajar-mengajar hendaknya guru dapat memanfaatkan waktu luang
anak berbakat dengan memberi materi penilaian tambahan (materi pelajaran
berikutnya). Sehingga kalau terakumulasi semua, mungkin materi pelajaran selama
satu semester dapat selesai dalam waktu 4 bulan: materi 1 tahun selesai dalam
waktu 8 bulan: materi 6 tahun selesai dalam waktu 4 tahun. Hal disebut dengan
istilah percepatan (akselerasi) belajar.
2)
Prinsip
Pengayaan (Enrichment)
Ada anak berhakat yang tidak tertarik dengan
program percepatan belajar Mereka kurang berminat mempelajari materi di atasnya
(berikutnya) mendahului teman-temannya. Mereka merasa lehih enjoy dan fun
dengan tetap mempelajari materi yang sama dengan teman sekelasnya, namun
diperdalam dan diperluas dengan mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi
(analisis. sintesis. evaluasi, dan pemecahan masalah), tidak hanya
mengembangkan proses berfikir tingkat rendah (pengetahuan dan pemahaman),
karena anak berbakat lebih menonjol dalam proses berfikir tingkat tinggi
tersebut.
Hal ini menuntut guru agar dalam kegiatan
betajar mengajar dapat rnemanfaatkan waktu luang anak berbakat dengan cara
memberi program-program pengayaan kepada mereka, dengan mengemhangkan proses
berfikir tingkat tinggi seperti di atas.
f.
Tunanetra
1)
Prinsip
Kekonkritan.
Anak tunanetra belajar terutama melalui
pendengaran dan perabaan. Bagi mereka untuk mengerti dunia sekelilingnya harus
bekerja dengan benda-benda konkrit yang dapat diraba dan dapat dimanipulasikan
Melalui observasi perabaan benda-benda riil, dalam tempatnya yang alamiah,
mereka dapat memahami bentuk, ukuran, berat, kekerasan, sifat-sitat permukaan,
kelenturan, suhu, dan sebagainya.
Dengan menyadari kondisi seperti ini, maka dalam
proses belajar-mengajar guru dituntut semaksimal mungkin dapat menggunakan
benda-benda konkrit (baik asli maupun tiruan) sebagai alat bantu atau media dan
sumber belajar dalam upaya pencapaian tujuan pembelajaran.
2)
Prinsip
Pengalaman yang Menyatu
Pengalaman visual cenderung menyatukan
informasi. Seorang anak normal yang masuk ke toko, tidak saja dapat melihat
rak-rak dan benda-benda riil, tetapi juga dalam sekejap mampu melihat huhungan
antara rak-rak dengan benda-benda di ruangan. Anak tunanetra tidak mengerti
hubungan-huhungan ini kecuali jika guru menyajikannya dengan mengajar anak
untuk “mengalami” suasana tersehut secara nyata dan menerangkan
huhungan-huhungan tersebut.
3)
Prinsip
Belajar Sambil Melakukan
Prinsip ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
prinsip belajar sambil berkerja. Perbedaannya adalah, bagi anak tunanetra,
melakukan sesuatu adalah pengalamanya nyata yang tidak mudah terlupakan seperti
anak normal melihat sesuatu sebagai kebutuhan utama dalam rnenangkap informasi.
Anak normal belajar mengenai keindahan lingkungan cukup hanya dengan melihat
gambar atau foto. Anak tunanetra menuntut penjelasan dan penjelajahan secara
langsung di lingkungan nyata.
Prinsip ini menuntut guru agar dalam proses
belajar-mengajar tidak hanya bersifat informatif akan tetapi semaksimal mungkin
anak diajak ke dalam situsi nyata sesuai dengan tuntutan tujuan yang ingin
dicapai dan bahan yang diajarkannya.
Menurut
Abdul Salim Choiri (2009: 89) menyebutkan beberapa prinsip pendidikan inklusi
sebagai berikut
a.
Setiap
anak berhak memperoleh pendidikan dasar yang ebih baik
b.
Setiap
anak berhak memperoleh layanan pendidikan pada sekolah-sekolah yang ada di
sekitarnya
c.
Setiap
anak memiliki potensi, bakat, dan irama perkembangan masing-masing yang harus
diberikan layanan secara tepat.
d.
Pendekatan
pembelajaran bersifat fleksibel, kooperatif, dan berdayaguna
e.
Sekolah
adalah bagian integral dari masyarakat
Sedangkan
secara umum prinsip penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia, dapat
dirumuskan sebagai berikut :
a.
Prinsip
Pemerataan dan Peningkatan Mutu
Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk
menyusun strategi upaya pemertaan kesempatan memperoleh layanan pendidikan dan
peningkatan mutu. Pendidikan inklusi merupakan salah satu strategi upaya
pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, selain itu pendidikan inklusi juga
merupakan strategi peningkatan mutu.
b.
Prinsip
Kebutuhan Individual
Setiap anak memiliki kemampuan dan kebutuhan
yang berbeda-beda, oleh karena itu pendidikan harus diusahakan untuk
menyesuaikan dengan kondisi anak.
c.
Prinsip
Kebermaknaan
Pendidikan inklusif harus menciptakan dan
menjaga komunitas kelas yang ramah, menerima keanekaragaman, dan
mengahargai perbedaan.
d.
Prinsip
Keberlanjutan
Pendidikan inklusif diselenggarakan secara
berkelanjutan pada semua jenjang pendidikan.
e.
Prinsip
Keterlibatan
Penyelenggaraan pendidikan inklusi harus
melibatkan seluruh komponen pendidikan terkait
C. Sarana dan Prasarana
Sarana
dan prasarana pendidikan inklusif adalah perangkat keras maupun perangkat lunak
yang dipergunakan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusif
pada satuan pendiidkan tertentu.
Pada
hakekatnya semua sarana dan prasarana pendidikan pada satuan pendidikan
tertentu itu dapat dipergunakan dalam penyelenggaraan pendiidkan inklusif,
tetapi untuk mengoptimalkan proses pemebelajaran perlu dilengkapi asesibilitas
bagi kelancaran mobilisasi anak berkebutuhan khusus, serta media pembelajaran
yang sesuai dengan kebutuhan anak berkebutuhan khusus.
1.
Sarana Khusus untuk ABK
Penentuan sarana
khusus untuk setiap jenis kelainan didasarkan pada skala prioritas artinya mengacu
pada kondisi dan kebutuhan peserta didik.
a.
Anak Tunanetra
1) Alat Asesmen
Bervariasinya kelainan penglihatan
pada anak tunanetra menuntut adanya pemeriksaan yang
cermat dalam mengidentifikasi kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya.
Assesmen kelainan penglihatan dilakukan untuk mengukur kemampuan
penglihatan dalam bentuk geometri, mengukur kemampuan penglihatan dalam
mengenal warna, serta mengukur ketajaman penglihatan. Alat yang
digunakan untuk assesmen penglihatan anak tunanetra dapat seperti di
bawah ini.
§ Snellen Chart (alat untuk mengetes
ketajaman penglihatan dalam bentuk hurup dan simbol E)
§ Ishihara Test (alat untuk mengetes ”buta
warna”)
§ SVR (Trial Lens Set) (alat
untuk mengukur ketajaman penglihatan)
§ Snellen Chart Electronic (alat
untuk mengetes ketajaman penglihatan sistem elektronik – bentuk hurup dan
simbol E)
2) Orientasi
dan Mobilitas
Pada umumnya anak tunanetra mengalami
gangguan orientasi mobilitas baik sebagian maupun secara
keseluruhan. Untuk
pengembangan orientasi mobilitasnya dapat dilakukan dengan menggunakan
alat-alat berikut ini.
§ Tongkat
panjang (alat bantu mobilitas berupa tongkat panjang yang terbuat dari
allumunium)
§ Tongkat
Lipat (alat bantu mobilitas berupa tongkat yang dapat
dilipat terbuat dari allumunium)
§ Tongkat
elektrik (alat bantu mobilitas berupa tongkat yang berbunyi apabila ada benda
di dekatnya)
§ Bola
bunyi (bola sepak yang mengeluarkan bunyi)
§ Pelindung
kepala (alat pengaman kepala dari benturan/helm sport)
3) Alat
Bantu Pembelajaran/Akademik
Layanan pendidikan untuk anak tunanetra
selain membaca, menulis, berhitung juga mengembangkan sikap, pengetahuan
dan kreativitas.Akibat kelainan penglihatan anak tunanetra
mengalami kesulitan dalam menguasai kemampuan membaca, menulis,
berhitung.
Untuk membantu penguasaan kemampuan
membaca, menulis, dan berhitung dapat dilakukan dengan menggunakan
alat-alat seperti berikut ini.
§ Peta Timbul (peta tiga
dimensi bentuk relief)
§ Abacus (alat bantu berhitung)
§ Penggaris Braille (penggaris
dengan skala ukur bentuk relief)
§ Blokies (sejumlah dadu dengan
simbol Braille dengan papan berkotak)
§ Papan Baca (alat untuk
melatih membaca)
§ Meteran Braille (alat untuk
mengukur panjang/lebar dengan skala ukur dengan simbol Braille)
§ Kompas Braille (pengukur posisi
arah angin dengan tanda Braille)
§ Kompas bicara (penunjuk arah
angin dengan suara)
§ Talking Watch (jam-tangan elektronik yang
dapat mengeluarkan suara)
§ Gelas Rasa (gelas untuk mengukur
tingkat sensitifitas rasa)
§ Botol Aroma (botol berisi cairan
untuk mengukur tingkat sensitifitas bau)
§ Braille Kit (perlengkapan pengenalan
huruf dan angka Braille)
§ Mesin tik Braille (mesin tik
dengan huruf Braille)
§ Kamus bicara (kamus yang dapat
mengeluarkan suara berbentuk CD)
§ Jam tangan Braille
(jam tangan dengan huruf Braile)
§ Puzzle Ball (puzle bentuk potongan
bola/lingkaran)
§ Model Anatomi (Model anatomi tiga
dimensi dan dapat dirakit)
§ Globe Timbul (bola dunia tiga
dimensi)
§ Bentuk–bentuk Geometri (puzle
bentuk potongan geometris/peraturan)
§ Collor Sorting Box (alat untuk melatih
ketajaman penglihatan melalui diskriminasi warna) dan
sebagainya.
4) Alat
Bantu Visual (alat bantu penglihatan)
Kelainan penglihatan anak
tunanetra bervariasi dari yang ringan (low vision) sampai
yang total (total blind). Untuk membantu memperjelas
penglihatannya pada anak tunanetra jenis Low visiondapat
digunakan alat bantu sebagai berikut.
§ Magnifier Lens Set (alat
bantu penglihatan bagi low visionbentuk hand and standing
berbagai ukuran)
§ CCTV (Closed Circuit Television/alat
bantu baca untuk anak low vision berupa TV monitor)
§ View Scan (alat bantu baca
untuk anak low vision berupa scaner)
§ Televisi (TV monitor/pesawat
penerima gambar jarak jauh)
§ Prism monocular (alat bantu
melihat jauh)
5) Alat
Bantu Auditif (alat bantu pendengaran)
Untuk melatih kepekaan pendengaran anak
tunanetra dalam mengikuti pelajaran dapat digunakan alat-alat seperti berikut
ini:
§ Tape Rekorder Doble Dek (alat
rekam/tampil suara model dua tempat kaset)
§ Alat Musik Pukul (alat-alat musik
jenis pukul/perkusi)
§ Alat Musik Tiup (alat-alat musik jenis tiup)
6) Alat
Latihan Fisik
Pada umumnya anak tunanetra mengalami
kesulitan dan kelambanan dalam
melakukan aktivitas fisik/motorik. Hal ini akan berpengaruh terhadap
kekuatan fisiknya yang dapat menimbulkan kerentanan terhadap
kesehatannya.
Untuk mengembangkan kemampuan
fisik alat yang dapat digunakan untuk anak tunanetra
adalah sebagai berikut.
§ Catur tunanetra (papan catur
dangan permukaan tidak sama untuk kotak hitam dan putih, sehingga buah catur
tidak mudah bergeser)
§ Bridge tunanetra (kartu bridge
dilengkapi huruf Braille)
§ Sepak bola dengan bola berbunyi
(bola sepak yang dapat menimbulkan bunyi)
§ Papan Keseimbangan (papan titian
untuk melatih keseimbangan pada saat berjalan)
§ Power Rider (alat untuk
melatih kecekatan motorik)
§ Static Bycicle (speda
permanen/tidak dapat melaju)
b.
Tunarungu/Gangguan
Komunikasi
1)
Alat Asesmen
Bervariasinya tingkat
kehilangan pendengaran pada anak tunarungu/gangguan komunikasi
menuntut adanya pengelolaan yangcermat dalam mengidentifikasi kekurangan dankelebihanyangdimilikinya.
Asesmen kelainan
pendengaran dilakukan untuk mengukurkemampuan
pendengaran, atau untuk menentukan tingkat
kekuatan suara/sumber bunyi. Alat yang digunakan untuk
asesmen pendengaran anak tunarungu adalah seperti
berikut:
§ Scan Test (alat untuk
mendeteksi pendengaran tanpa memerlukan ruang khusus)
§ Bunyi-bunyian (alat
yang dapat menimbulkan berbagai jenis bunyi)
§ Garputala (alat pengukur getar
bunyi/suara atau tinggi nada)
§ Audiometer & Blanko Audiogram (alat
kemampuan pendengaran dengan akurasi tinggi melalui tes audiometri)
§ Mobile Sound Proof (kotak
kedap suara sebagai perangkat tes audiometri)
§ Sound level meter (alat
pengukur kuat suara)
2)
Hearing Aids (Alat
Bantu Dengar)
Anak tunarungu mengalami gangguan pendengaran
baik dari ringan sampai berat/total. Untuk membantu pendengarannya dapat
dilakukan menggunakan alat bantu dengar (hearing aid) seperti berikut
ini.
§ Model saku (alat bantu dengar
model-saku)
§ Model belakang Telinga (alat
bantu dengan model ditempel di belakang telinga)
§ Model dalam Telinga (alat bantu
dengan model dimasukan langsung ke dalam telinga)
§ Model kacamata (alat bantu dengar
model-kacamata yang diperuntukan sekaligus kelainan penglihatan)
Sementara
itu, untuk membantu pendengaran dalam
proses pembelajaran dapat digunakan
alat-alat berikut ini:
§ Hearing Group (alat bantu
dengar yang dapat dipergunakan secara kelompok agar anak dapat berkomunikasi
dan memanfaatkan sisa pendengaran)
§ Loop Induction System (alat
bantu dengar yang dapat dipergunakan secara kelompok agar anak dapat
berkomunikasi dan memanfaatkan sisa pendengaran dilengkapi head
sets)
3)
Latihan Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama
Pada umumnya anak tunarungu
mengalamigangguanpendengaran baik ringan maupun secara
keseluruhan/total, sehingga mengakibatkan gangguan atau hambatan
komunikasi dan bahasa.
Untuk pengembangan kemampuan
berkomunikasi dan bahasa dapat dilakukan dengan menggunakan
alat-alat sebagai berikut.
§ Cermin (alat untuk memantulkan
gambar/bercermin)
§ Alat latihan
meniup (seruling, kapas, terompet, peluit untuk merangsang
pernafasan dalam rangka persiapan perbaikan bicara)
§ Alat musik perkusi (gong.
gendang, tamborin, triangle, drum,
kentongan)
§ Sikat getar (sikat dengan
bulu-bulu khusus untuk
melatih kepekaan terhadap
bunyi/getaran)
§ Lampu aksen (kontrol suara dengan
lampu indikator)
§ Meja latihan wicara (meja tempat
anak belajar berbicara
§ Speech and Sound
Simulation (alat pelatihan bina bicara yang dilengkapi meja dan cermin)
§ Spatel (alat bantu untuk
membetulkan posisi organ artikulasi terbuat dari stainless steel)
§ TV/VCD
4)
Alat Bantu Belajar /Akademik
Layanan pendidikan untuk anak tunarungu
mencakup membaca, menulis, berhitung, mengembangkan perilaku positif, pengetahuan, dan kreativitas.
Karena mengalami kelainan pada pendengarannya, maka anak tunarungu
mengalami kesulitan dalam menguasai kemampuan membaca, menulis dan
berhitung.
Untuk membantu penguasaan kemampuan
di bidang akademik, maka dibutuhkan layanan alat-alat yang dapat membant mengembangkan kemampuanakademik
anak tunarunguantara lain:
§ Miniatur benda (bentuk
benda sebenarnya dalam ukuran kecil)
§ Finger Alphabet (bentuk
simbol huruf dengan isyarat jari tangan)
§ Silinder (bentuk-bentuk benda silindris)
§ Kartu kata (kartu yang
bertuliskan kata)
§ Kartu kalimat (kartu yang
bertuliskan kalimat singkat)
§ Menara segitiga (susunan bentuk
segi tiga dengan ukuran berurutdari kecil sampai besar)
§ Menara lingkaran (susunan gelang
dari diameter kecil sampai besar)
§ Menara segi empat (susunan bentuk
segi empat dengan ukuran berurut dari kecil sampai besar)
§ Peta dinding (peta batas wilayah,
batas pulau dan batas Negara yang dapat ditempel di dinding)
§ Model geometri (model-model
bentuk benda beraturan)
§ Anatomi telinga (alat bantu
menerangkan susunan bagian telinga)
§ Model telinga (model
bagian-bagian telinga tiga dimensi)
§ Torso setengah badan (Model
anatomi tubuh-setengah badan)
§ Puzzle buah-buahan
(potongan-potongan bagian dari buah-buahan
§ Puzzle binatang (puzle bentuk
potongan binatang)
§ Puzzle konstruksi (puzle bentuk
konstruksi/rancang bangun sederhana)
§ Atlas (peta batas wilayah, batas
pulau dan batas Negara)
§ Globe (bola dunia yang
menggambarkan benua dan batas-batas negara di dunia)
§ Miniatur Rumah Adat (contoh rumah-rumah
adat dalam ukuran kecil dan proporsional)
§ Miniatur Rumah ibadah (contoh
rumah-rumah ibadah dalam ukuran kecil dan proporsional)
5)
Alat
Latihan Fisik
Untuk mengembangkan kemampuan
motorik/fisik anak tunarungu, alat-alat yang dipergunakan adalah sebagai
berikut:
§ Bola dan Net Volley
§ Bola Sepak
§ Meja Pingpong
§ Raket, Net Bulutangkis dan Suttle
Cock
§ Power Rider (alat untuk
melatih kecekatan motorik)
c.
Anak Tunagrahita
1)
Alat asesmen
Bervariasinya tingkat intelegensi dan
kognitif anak tunagrahita, menuntut adanya pengelolaan yang cermat dalam
mengidentifikasi kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya.
Asesmen pada anak tunagrahita dilakukan
untuk mengukur tingkat intelegensi dan kognitif, baik secara individual maupun
kelompok. Alat untuk asesmen anak tunagrahita dapat digunakan seperti berikut
ini:
§ Tes Intelegensi WISC-R (alat atau
instrumen isian untuk mengukur tingkat kecerdasan seseorang model WISC-R)
§ Tes Intelegensi
Stanford Binet (alat atau instrumen isian untuk mengukur tingkat
kecerdasan seseorang model Stanford Binet)
§ Cognitive Ability test (alat
atau instrumen isian untuk mengukur tingkat pengetahuan yang dikuasai)
2)
Latihan Sensori Visual
Tingkat kecerdasan anak tunagrahita
bervariasi dari yang ringan sampai yang berat. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan
anak tunagrahita mengalami kesulitan untuk berpikir abstrak dan mengalami
kesulitan dalam membedakan warna dan mengenali bentuk. Untuk membantu sensori
visual anak tunagrahita dapat menggunakan alat sebagai berikut:
§ Gradasi Kubus (bentuk-bentuk
kubus dengan ukuran yang bervariasi untuk melatih kemampuan/pemahaman volume
kubus)
§ Gradasi Balok 1 (bentuk-bentuk
balok dengan ukuran yang bervariasi satu warna)
§ Gradasi Balok 2 (bentuk-bentuk
balok dengan ukuran yang bervariasi berbagai warna)
§ Silinder 1 (bentuk-bentuk
silinder untuk melatih motorik mata-tangan untuk usia dini)
§ Silinder 2 (bentuk-bentuk
silinder dengan ukuran yang bervariasi )
§ Silinder 3 (bentuk-bentuk
silinder dengan ukuran, warna dan bahan yang bervariasi)
§ Menara segitiga (susunan bentuk
segi tiga dengan ukuran berurut dari kecil sampai besar)
§ Menara lingkaran (susunan gelang
dari diameter kecil sampai besar)
§ Menara segi empat (susunan bentuk
segi empat dengan ukuran berurut dari kecil sampai besar)
§ Kotak Silinder (tempat menyimpan
silinder-silinder alat bantu mengajar/belajar)
§ Multi sensori (alat untuk melatih
sensori seperti pemahaman bentuk, ukuran, warna atau klasifikasi objek dan
tekstur)
§ Puzzle Binatang (puzle bentuk
potongan gambar binatang)
§ 13) Puzzle
Konstruksi (puzle bentuk konstruksi/rancang bangun sederhana)
§ Puzzle Bola (puzle bentuk
potongan bola/lingkaran)
§ Boks Sortir Warna (alat bantu
untuk melatih persepsi penglihatan melalui diskriminasi warna)
§ Geometri Tiga Dimensi
(model-model bentuk benda beraturan tiga dimensi)
§ Papan Geometri (Roden Set) (papan
latih bentuk beraturan model Roden)
§ Kotak Geometri (Box Shape) (kotak
berpenutup berlubang sesuai bentuk-bentuk beraturan)
§ Konsentrasi Mekanis (alat latih
konsentrasi gerak mekanik)
§ Formmenstockbox Mit (bentuk-bentuk
dan warna untuk melatih motorik mata-tangan dan konsep ruang)
§ Formmenstockbox (bentuk-bentuk
dan warna untuk melatih motorik mata-tangan dan konsep ruang)
§ Scheiben-Stepel Puzzle (bentuk-bentuk
dan warna untuk melatih motorik pergelangan tangan untuk kesiapan menulis)
§ Formstec-Stepel Puzzle (bentuk-bentuk
dan warna untuk melatih motorik dan konsentrasi)
§ Fadeldreicke (alat untuk
melatih ketajaman penglihatan dan koordinasi mata-tangan)
§ Schmettering Puzzle (melatih
hubungan ruang dan bentuk dalam kesatuan objek)
§ Puzzle Set (berbagai puzzle untuk
mengembangkan kreativitas, konsep rung dan melatih ingatan)
§ Streckspiel (alat untuk
melatih ketajaman penglihatan dalam dimensi warna dan ukuran, menyortir dan
mengklasifikasi objel secara seriasi)
§ Geo-Streckbrett (alat
untuk melatih ketajaman penglihatan dan koordinasi mata-tangan)
§ Rogenbugentorte (alat untuk
melatih kemampuan mendiskrinisasi warna dan motorik halus)
3)
Latihan Sensori Perabaan
Anak tunagrahita mengalami kesulitan
untuk membedakan dan mengenali bentuk. Untuk membantu sensori perabaan anak
tunagrahita dapat digunakan alat sebagai berikut:
§ Keping Raba 1 (keping-keping
benda dengan ukuran dan tekstur bervariasi)
§ Keping Raba 2 (Gradasi Keping)
(keping-keping benda dengan ukuran dan tekstur/tingkat kehalusan tinggi)
§ Keping Raba 3 (Gradasi Kain)
(berbagai kain dengan tingkat kekasaran/pakan/serat kain yang
bervariasi)
§ Alas Raba (Tactile footh)
(melatih kepekaan kaki pada lantai yang dikasarkan/dilapis lantai bertekstur
kasar)
§ Fub and Hand (Siluet tangan
dan kaki)
§ Tactila (melatih kepekaan
perabaan melalui diskriminasi taktual dan visual)
§ Balance Labirinth Spirale (alat
latih keseimbangan gerak tangan pada arah yang berbeda berbentuk spiral timbul)
§ Balance Labirinth Maander (alat
latih keseimbangan gerak tangan pada arah yang berbeda berbentuk segi empat
timbul)
4)
Sensori Pengecap dan Perasa
Anak tunagrahita mengalami kesulitan
untuk membedakan rasa dan membedakan aroma/bau. Untuk itu anak tunagrahita perlu
latihan sensori pengecap dan perasa. Alat yang digunakan melatih sensori
pengecap dan perasa dapat berupa:
§ Gelas Rasa (gelas yang berisi
cairan/serbuk untuk mengukur tingkat sensitifitas rasa)
§ Botol Aroma (botol berisi
cairan/serbuk untuk mengukur tingkat sensitifitas bau)
§ Tactile Perception (untuk
mengukur analisis perabaan)
§ Aesthesiometer (untuk
mengukur kemampuan rasa kulit)
5)
Latihan Bina Diri
Anak tunagrahita mengalami kesulitan
untuk merawat diri sendiri. Untuk itu anak tunagrahita perlu latihan bina diri.
Alat yang digunakan latihan bina diri dapat berupa:
§ Berpakaian 1 (bentuk kancing)
§ Berpakaian 2 (bentuk resleting)
§ Berpakaian 3 (bentuk tali)
§ Dressing Frame Sets (rangka
pemasangan pakaian-kancing, resleting dan tali dikemas dalam satu bingkai)
§ Pasta Gigi dan lain sebagainya
6)
Konsep dan Simbol Bilangan
Anak tunagrahita mengalami kesulitan
untuk memahami konsep dan simbul bilangan. Untuk itu anak tunagrahita perlu
latihan memahami konsep dan simbul bilangan. Alat yang digunakan melatih konsep dan
simbul bilangan dapat berupa:
§ Keping Pecahan (peraga bentuk
lingkaran menunjukan bagian benda, ½, ¼, 1/3, dst)
§ Balok Bilangan 1 (alat mengenal
prinsip bilangan basis bilangan satuan)
§ Balok Bilangan 2 (alat mengenal
prinsip bilangan basis bilangan puluhan)
§ Geometri Tiga Dimensi (berupa
bentuk-bentuk geometri tiga dimensi yaitu: bulat, lonjong, segitiga,
segiempat, limas, piramid).
§ Abacus (alat untuk melatih
pemahaman konsep bilangan satuan, puluhan, ratusan, ribuan, dan nilai tempat)
§ Papan Bilangan (Cukes) (berfungsi
untuk melatih kemampuan memahami bilangan dan dasar-dasar operasi hitung)
§ Tiang Bilangan (Seguin Bretter)
(papan bersekat dengan angka puluhan dan nilai tempat, berfungsi melatih
kemampuan memahami bilangan puluhan dan nilai tempat)
§ Kotak Bilangan (kotak bersekat
dilengkapi angka-angka 1 s.d 10 dengan lubang sekat 50, berfungsi untuk
memperkenalkan konsep nilai dan simbol bilangan 1 sampai dengan 10)
7)
Kreativitas, Daya Pikir dan Konsentrasi
Anak tunagrahita mengalami kesulitan
untuk berkreativitas dan pada daya pikirnya. Untuk itu anak tunagrahita perlu
latihan memahami kreativitas, daya pikir dan konsentrasi. Alat yang digunakan
dapat berupa:
§ Tetris (kotak berisi potongan
kayu untuk disusun beraturan sesuai petunjuk gambar
§ Box konsentrasi mekanis (alat
latih konsentrasi gerak mekanik bentuk kotak/boks)
§ Fuzle konstruksi (puzle bentuk
konstruksi/rancang bangun sederhana)
§ Rantai persegi (mata rantai
persegi yang dapat disusun/dirangkai menjadi bentuk bangun)
§ Rantai bulat (mata rantai bulat
yang dapat disusun/dirangkai menjadi bentuk bangun bola)
§ Lego/Lazi (potongan-potongan
dengan kaki dan kepala yang dapat saling dipasangkan membuat bangun tertentu)
8)
Alat Pengajaran Bahasa
Anak tunagrahita mengalami kesulitan
untuk berkomunikasi dan berbahasa. Untuk itu anak tunagrahita perlu latihan
berbahasa. Alat yang digunakan melatih berbahasa dapat berupa:
§ Alphabet
Loweincase (simbol-simbol alphabet/abjad huruf besar)
§ Alphabet Fibre Box (melatih
membaca permulaan dengan cara merangkai huruf menjadi kalimat bahan dari fibre)
§ Pias Kata (simbol-simbol kata untuk
disusun menjadi kalimat)
§ Pias Kalimat (pias-pias kata dan kalimat dilengkapi dengan
gambar)
9)
Latihan Perseptual Motor
Keterbatasan intelegensi dan kognitif
mengakibatkan anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam perseptual motornya.
Untuk itu anak tunagrahita perlu latihan perseptual motor. Alat yang digunakan
melatih perseptual motor dapat berupa:
§ Bak Pasir (melatih kreativitas
bentuk)
§ Papan Keseimbangan (papan untuk
melatih keseimbangan Tubuh)
§ Gradasi Papan Titian (papan untuk
melatih keseimbangan
§ Tubuh dalam bentuk bertingkat)
§ Keping Keseimbangan (tangga
bertali-papan berpenopang)
§ Power Rider (alat untuk
melatih kecekatan motorik)
§ Balancier Zehner (berfungsi
melatih keseimbangan gerak tubuh yang terdiri dari untaian objek bentuk
lingkaran)
§ Balamcierbrett (berfungsi
melatih dinamisasi tubuh berbentuk lingkaran yang diberi torehan melingkar
untuk menaruh bola)
§ Balancierwippe (berfungsi
melatih keseimbangan tubuh melalui gerak kaki berbentuk bilah papan yang diberi
torehan)
§ Balancier Steg. (melatih keseimbangan
untuk beberapa anak sekaligus yang terdiri dari bilah-bilah papan dan balok yang dapat dirubah)
d.
Anak Tunadaksa
1)
Alat Asesmen Kemampuan Gerak
Pada umumnya anak tunadaksa mengalami
gangguan perkembangan intelegensi motorik dan mobilitas, baik sebagian maupun
secara keseluruhan. Bervariasinya kondisi fisik dan intelektual anak tunadaksa,
menuntut adanya pengelolaan yang cermat dalam mengidentifikasi kekurangan dan
kelebihan yang dimilikinya. Hal ini penting dalam upaya menentukan apa yang
dibutuhkan dapat mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan kemampuan dan
keadaannya.
Asesmen dilakukan pada anak tunadaksa
dilakukan untuk mengetahui keadaan postur tubuh, keseimbangan tubuh, kekuatan
otot, mobilitas, intelegensi, serta perabaan. Alat yang digunakan untuk assesmen anak
tunadaksa seperti berikut ini:
§ Finger Goniometer (alat ukur
sendi-daerah gerak)
§ Flexiometer (alat ukur
kelenturan)
§ Plastic Goniometer (alat
ukur sendi terbuat dari plastik)
§ Reflex Hammer (palu untuk
mengukur gerak reflex kaki)
§ Posture Evaluation Set
(pengukur postur tubuh mengukur kelainan posisi tulang belakang)
§ TPD Aesthesiometer (mengukur
rasa permukaan kulit pada tubuh)
§ Ground Rhytem Tibre Instrument (alat
ukur persepsi bunyi)
§ Cabinet Geometric Insert (lemari
geometris)
§ Color Sorting Box (kotak
sortasi warna)
§ Tactile Board Sets (papan latih perabaan
sets)
2)
Alat Latihan Fisik/Bina Gerak
Pada umumnya anak tunadaksa mengalami
hambatan dalam pindah diri (ambulasi), dan koordinasi/keseimbangan tubuh. Agar
anak tunadaksa dapat melakukan kegiatan hidup sehari-hari diperlukan latihan.
Alat-alat yang dapat digunakan dapat berupa:
§ Pulley Weight (untuk
menguatkan otot tangan dan perut)
§ Kanavel Table (untuk menguatkan
otot tangan, pergelangan dan jari tangan)
§ Squeez Ball (untuk latihan daya
remas tangan)
§ Restorator Hand (untuk
menguatkan otot lengan)
§ Restorator Leg (untuk
menguatkan otot kaki, tungkai)
§ Treadmill Jogger (untuk
menguatkan otot kaki, tungkai dan jantung)
§ Safety Walking Strap (sabuk
pengaman ketika berlatih jalan)
§ Straight (tangga) (alat
latih memanjat)
§ Sand-Bag (pemberat beban
pada latihan gerak sendi)
§ Exercise Mat (latihan
mobilisasi gerak tidur, berguling)
§ Incline Mat (latihan untuk
merangkak)
§ Neuro Development Rolls (latihan
untuk merangkak dan keseimbangan dalam posisi duduk)
§ Height Adjustable
Crowler (latihan untuk merangkak)
§ Floor Sitter (untuk latihan
duduk tegak di lantai)
§ Kursi CP (untuk latihan duduk
tegak posisi normal)
§ Individual Stand-in Table (untuk
latihan berdiri tegak dan aktivitas tangan)
§ Walking Paralel (untuk
latihan jalan dengan pegangan memajang kiri dan kanan
§ Walker Khusus CP (untuk latihan m
obilitas berjalan)
§ Vestibular Board (meja
goyang untuk latihan keseimbangan)
§ Balance Beam Set (papan
titian untuk latihan keseimbangan)
§ Dynamic Body and Balance (latihan
keseimbangan dan meloncat)
§ Kolam Bola-bola (untuk latihan
koordinasi mata, kaki dan tangan)
§ Vibrator (untuk mengatasi
kekakuan otot)
§ Infra-Red Lamp (Infra Fill)
(melancarkan peredaran darah dan relaksasi otot)
§ Dual Speed Massager (alat
pijat double kecepatan)
§ Speed Training Devices (alat
latih kecepatan gerakan mulut pada saat bicara)
§ Bola karet (untuk latihan
motorik)
§ Balok berganda (papan
untuk melatih keseimbangan tubuh dalam bentuk bertingkat)
§ Balok titian (papan untuk melatih keseimbangan tubuh)
3)
Alat Bina Diri
Anak tunadaksa mengalami hambatan dalam
pindah diri (ambulasi), dan koordinasi/keseimbangan tubuh. Keterbatasan atau
hambatan tersebut mengakibatkan anak tunadaksa mengalami kesulitan untuk
merawat diri sendiri. Agar anak tuna daksa dapat melakukan perawatan diri dan
kegiatan hidup sehari-hari (activity of daily living), maka perlu
latihan. Alat-alat yang dapat digunakan dapat berupa:
§ Swivel Utensil (sendok
khusus yang dimodifikasi untuk anak CP)
§ Dressing Frame Set (rangka
pemasangan pakaian)
§ Lacing Shoes (kaus kaki)
§ Deluxe Mobile Commade (alat
latih buang air-kloset)
4)
Alat Orthotic dan Prosthetic
Anak tunadaksa mengalami hambatan dalam
pindah diri (ambulasi), dan koordinasi/keseimbangan tubuh, karena kondisi tubuh
mengalami kelainan. Agar anak tuna daksa dapat melakukan ambulasi dan kegiatan
hidup sehari-hari (activity of daily living), maka perlu alat bantu (orthonic dan prosthetic).
Alat-alat yang
§ Cock-Up Resting
Splint (meluruskan permukaan tangan dan jari)
§ Rigid Immobilitation Elbow
Brace (untuk mengatsi gerakan siku pada posisi fleksi 90 derajat)
§ Flexion Extention (untuk
membantu gerakan sendi siku)
§ Back Splint (untuk menahan
sendi lutut agar tidak melinting kebelakang dan sebagi penguat kaki pada saat
berjalan)
§ Night Splint (untuk
mengistirahatkan kaki dalam posisi normal dan mencegah salah bentuk)
§ Denish Browns Splint (mengoreksi
telapak kaki yang salah bentuk)
§ X Splint (mengoreksi bentuk kaki
bentuk X)
§ O Splint (mengoreksi bentuk
kaki bentuk O)
§ Long Leg Brace Set (menopang
kaki yang layu agar kuat berjalan/berdiri)
§ Ankle or Short Leg Brace (untuk
meluruskan tendon yang
§ Original Thomas
Collar (penyangga leher)
§ Simple Cervical Brace (untuk
mengoreksi leher danmenegakkanbahu)
§ Corsett (mengoreksi kelainan
tulang punggung)
§ Crutch (kruk) (untuk
menopang tubuh)
§ Clubfoot walker Shoes ((mengoreksi
bentuk kaki yang tidak terkendali pada saat jalan)
§ Thomas Heel Shoes (sepatu
dengan hak yang bisa miring kiri-kanan)
§ Wheel Chair (kursi roda)
§ Kaki Palsu Sebatas Lutut
§ Kaki Palsu Sampai Paha
5)
Alat Bantu Belajar/Akademik
Layanan pendidikan untuk anak tunadaksa
mencakup membaca, menulis, berhitung, pengembangan sikap, pengetahuan dan
kreativitas. Akibat mengalami kelainan pada motorik dan intelegensinya, maka
anak tunadaksa mengalami kesulitan dalam menguasai
kemampuan membaca, menulis, berhitung.
Untuk membantu penguasaan kemampuan di
bidang akademik, maka dibutuhkan layanan dan peralatan khusus. Alat-alat yang
dapat membantu mengembangkan kemampuan akademik pada anak
tunadaksa dapat berupa:
§ Kartu Abjad untuk pengenalan
huruf
§ Kartu Kata untuk pengenalan kata
§ Kartu Kalimat untuk pengenalan
kalimat
§ Torso Seluruh Badan untuk
pengenalan bagian anggota tubuh manusia
§ Geometri Sharpe untuk pengenalan
bentuk dan untuk menyortir bentuk geometri
§ Menara Gelang untuk latihan
koordinasi mata dan tangan
§ Menara Segitiga untuk pengenalan
bentuk segitiga
§ Menara Segiempat untuk pengenalan
bentuk segi empat
§ Gelas Rasa untuk membedakan
macam-macam rasa
§ Botol Aroma untuk membedakan
macam-macam bau/aroma
§ Abacus dan Washer untuk belajar
berhitung
§ Papan Pasak untuk belajar
berhitung dan koordinasi
§ Kotak Bilangan untuk belajar
berhitung
e.
Tunalaras
1)
Asesmen Gangguan Perilaku
Anak tunalaras adalah anak yang
mengalami gangguan penyimpangan perilaku yang merugikan diri sendiri maupun
orang lain. Terganggunya perilaku anak tunalaras, menuntut adanya pengelolaan
yang cermat dalam mengidentifikasi kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya.
Hal ini penting dalam upaya menentukan apa yang dibutuhkan dapat mendapatkan pelayanan
pendidikan sesuai dengan kemampuan dan keadaannya.
Asesmen dilakukan pada anak tunalaras
untuk mengetahui penyimpangan perilaku anak. Alat yang digunakan untuk assesmen
anak tunalaras seperti berikut ini:
§ Adaptive Behavior Inventory for
Children
§ AAMD Adaptive Behavior Scale
2)
Alat Terapi Perilaku
Perilaku menyimpang yang dilakukan anak
tunalaras cenderung untuk merugikan diri sendiri dan orang lain. Untuk
mereduksi perilaku yang menyimpang, maka dibutuhkan peralatan khusus. Alat-alat
tersebut dapat berupa:
§ Pretend Game (untuk membantu
anak dalam bersosialisasi dengan orang lain)
§ Hide-Way (untuk bermain
sembunyi-sembunyian)
§ Put me a tune (untuk latihan
menuangkan air ke cangkir)
§ Copy cats (untuk menjalin
interaksi dengan orang lain)
§ Jig-saw puzzle (teka-teki
untuk melatih memecahkan masalah)
§ Puppen house (untuk melatih
bermain peran)
§ Hunt the Timble (permainan sulap
untuk mengingatkan kembali permainan yang telah lalu)
§ Sarung tinju (terbuat dari kulit
untuk menyalurkan rasa emosional)
§ Hoopla (untuk latihan koordinasi
mata dan tangan)
§ Sand Pits (untuk melatih
gerakan tangan dengan menggunakan tangan atau memasukan jari kakinya)
§ Animal Matching Games (untuk
latihan mencocokan gambar binatang)
§ Organ (untuk melatih kepekaan,
kesenian dan mengapresiasikan musik)
§ Tambur dengan Stick dan Tripod
(untuk melatih kepekaan, kesenian dan mengapresiasikan musik)
§ Rebana (untuk melatih kepekaan,
kesenian dan mengapresiasikan musik)
§ Flute (untuk melatih kepekaan,
kesenian dan mengapresiasikan musik)
§ Torso (untuk mengenal organ tubuh
manusia)
§ Constructive Puzzle (melatih
kemampuan pemecahan masalah)
§ Animal Puzzle (untuk
mengenal berbagai jenis binatang)
§ Fruits Puzzle (untuk mengenal
berbagai jenis buah-buahan)
3)
Alat Terapi Fisik
Untuk mengembangkan kemampuan
motorik/fisik anak tunalaras, alat yang dapat digunakan seperti berikut ini:
§ Matras
§ Straight-Type Staircase
§ Bola Sepak
§ Bola, Net Volley
§ Meja Pingpong
§ Power Rider
§ Strickleiter
§ Trecketsando (5 flat)
§ Rope Lader
f.
Anak Berbakat
1)
Alat Asesmen
Anak berbakat mempunyai kemampuan yang
istimewa dibanding teman sebayanya. Istimewanya kondisi anak berbakat menuntut
adanya pengelolaan yang cermat dalam mengidentifikasi kekurangan dan kelebihan
yang dimilikinya. Hal ini penting dalam upaya menentukan apa yang dibutuhkan
dapat memperoleh pelayanan pendidikan sesuai dengan kemampuannya.
Asesmen dilakukan pada anak berbakat
untuk mengetahui. Keberbakatan dan menilai tentang kebutuhannya untuk
menempatkan dalam program-program pendidikan sesuai dengan dan dalam rangka
mengembangkan potensinya. Alat yang digunakan untuk assesmen anak berbakat
seperti berikut ini:
§ Tes Intelegensi WISC-R (alat
atau instrumen isian untuk mengukur tingkat kecerdasan seseorang model WISC-R)
§ Tes Intelegensi Stanford Binet
(alat atau instrumen isian untuk mengukur tingkat kecerdasan seseorang
model Stanford Binet)
§ Cognitive Ability Tes (alat atau
instrumen isian untuk mengukur tingkat pengetahuan yang dikuasai)
§ Differential Aptitude Test (alat
atau instrumen isian untuk mengukur tingkat sikap)
2)
Alat Bantu Ajar/Akademik
Anak berbakat memiliki sifat selalu
haus pengetahuan dan tidak puas bila hanya mendapat penjelasan dari orang lain,
mereka ingin menemukan sendiri dengan cara trial and error (mengadakan
percobaan/praktikum) di laboraturium atau di masyarakat.
Untuk itu sekolah inklusif hendaknya
perlu mengusahakan sarana yang lengkap. Sarana-sarana belajar tersebut
meliputi:
a)
Sumber
belajar:
§ Buku paket
§ Buku Pelengkap
§ Buku referensi
§ Buku bacaan
§ Majalah
§ Koran
§ Internet dan
sebagainya
b)
Media
pembelajaran
§ Radio
§ Cassette recorder
§ TV
§ OHP
§ Wireless
§ Slide projector
§ LD/VCD/DVD player
§ Chart
§ Komputer, dan lain sebagainya
g.
Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar
1)
Alat Asesmen
Anak yang mengalami kesulitan belajar
merupakan kondisi kronis yang diduga bersumber neurologis yang secara selektif
menggangu perkembangan, integrasi, dan/atau kemampuan verbal dan/atau non
verbal. Kesulitan belajar dapat berupa kesulitan berbahasa, membaca, menulis
dan atau matematika.
Bervariasinya kesulitan belajar,
menuntut adanya pengelolaan yang cermat dalam mengidentifikasi kekurangan dan
kelebihan yang dimilikinya. Hal ini penting dalam upaya menetukan apa yang
dibutuhkan dapat mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan kemampuan dan
keadaannya.
Asesmen pada anak yang mengalami
kesulitan belajar dilakukan untuk mengetahui bentuk kesulitan
belajar dan untuk memperoleh informasi yang dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam merencanakan program pembelajarannya. Alat yang digunakan
untuk assesmen anak yang mengalami kesulitan belajar seperti berikut ini:
§ Instrumen ungkap riwayat kelainan
§ Tes Inteligensi WISC
2)
Alat Bantu Ajar/Akademik
a)
Kesulitan
Belajar Membaca (Disleksi)
Sarana khusus yang diperlukan oleh anak
yang mengalami kesulitan belajar membaca (remedial membaca) meliputi:
§ Kartu Abjad
§ Kartu Kata
§ Kartu Kalimat
b)
Kesulitan Belajar Bahasa
Sarana
khusus yang diperlukan oleh anak yang mengalami kesulitan belajar bahasa
(remedial bahasa) meliputi:
§ Kartu Abjad
§ Kartu Kata
§ Kartu Kalimat
c)
Kesulitan
Belajar Menulis (Disgrafia)
Sarana khusus yang diperlukan oleh anak
yang mengalami kesulitan belajar menulis (remedial menulis) meliputi:
§ Kartu Abjad
§ Kartu Kata
§ Kartu Kalimat
§ Balok bilangan 2
d)
Kesulitan
Belajar Matematika (Diskalkulia)
Sarana khusus yang diperlukan oleh anak
yang mengalami kesulitan belajar matematika (remedial
matematika) meliputi:
§ Balok bilangan 1
§ Balok bilangan 2
§ Pias angka
§ Kotak bilangan
§ Papan bilangan
2.
Prasarana Khusus
a.
Anak Tunanetra
Untuk peserta didik tunanetra
diperlukan ruang untuk melaksanakan kegiatan Asesmen, Konsultasi, Orientasi
dan Mobilitas, Remedial Teaching, Latihan Menulis Braille, Latihan
Mendengar, Latihan Fisik, Keterampilan, dan penyimpanan alat.
b.
Anak Tunarungu/Gangguan Komunikasi
Untuk peserta didik tunarungu/Gangguan
Komunikasi diperlukan ruang untuk melaksanakan kegiatan
Asesmen, Konsultasi, Latihan Bina Wicara, Bina Persepsi Bunyi dan
Irama, Remedial Teaching, Latihan Fisik, Keterampilan, dan
penyimpanan alat.
c.
Anak Tunagrahita
Untuk peserta didik Tunagrahita/Anak
Lamban Belajar diperlukan ruang untuk melaksanakan kegiatan
Assesmen, Konsultasi, Latihan sensori, Bina diri, Remedial
Teaching, Latihan Perseptual, Keterampilan, dan penyimpanan alat.
d.
Anak Tunadaksa
Untuk peserta didik Tunadaksa
diperlukan ruang untuk melaksanakan kegiatan Assesmen, konsultasi,
Latihan fisik, Bina diri, Remedial Teaching, Keterampilan, dan
penyimpanan alat.
e.
Anak Tunalaras
Untuk peserta didik Tunalaras
diperlukan ruang untuk melaksanakan kegiatan Assesmen, Konsultasi,
Latihan perilaku, Terapi permainan, Terapi fisik, Remedial Teaching, dan
penyimpanan alat.
f.
Anak Cerdas Istimewa
Di samping memberdayakan atau
mengoptimalkan penggunaan prasarana yang ada apabila di sekolah penyelenggara
pendidikan inklusif peserta didiknya ada yang berkecerdasan istimewa, prasarana
khusus yang perlu disediakan adalah ruang assesmen.
g.
Anak Berbakat Istimewa
Untuk anak berbakat istimewa di samping
memberdayakan atau mengoptimalkan penggunaan prasarana yang ada apabila di
sekolah penyelenggara pendidikan inklusif peserta didiknya ada yang berbakat,
prasarana khusus yang perlu disediakan adalah ruang assesmen.
h.
Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar
Untuk peserta didik yang Mengalami
Kesulitan Belajar diperlukan ruang untuk melaksanakan kegiatan
Assesmen, dan Remedial. Sebagai catatan, pada dasarnya di sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif cukup disiapkan satu unit ruang sebagai ”Resource
Room” atau ruang sumber.
BAB
III
PENUTUP
Dapat kita simpulkan
bahwa, pendidikan inklusif terbuka untuk umum tidak hanya untuk anak
berkebutuhan khusus saja tetapi siapa saja yang ingin bersekolah di sekolah
inklusif seperti anak penyandang cacat, tunawisma, dan lain-lain. dengan adanya
sekolah inklusif anak-anak berkebutuhan khusus mempunyai wadah untuk
menyalurkan keinginan mereka, bakat dan minat mereka. sekolah inklusif juga
membuktikan bahwa anak-anak inklusif juga berhak mendapatkan status dan
kedudukan yang sama dengan anak-anak pada umumnya, dan dapat memperoleh
pendidikan yang sama. Kita sebagai mahasiswa harus dapat mensosialaisasikan
adanya sekolah inklusif dan dapat menambah minat masyarakat terhadap sekoah
inklusif.Kurikulum kurikulum yang
dirancang, diberlakukan dan diimplementasi- kandalam satu lembaga atau satuan
pendidikan tertentu disesuaiakan dengan sekolah, lingkungan dan kebutuhan siswa.
Dalam
tataran praktis pembelajaran, inklusi merupakan suatu perubahan yang dapat
menguntungkan tidak hanya anak berkebutuhan khusus akan tetapi juga anak pada
umumnya dalam kelas. Prinsip paling mendasar dalam pendidikan inklusif
adalah bagaimana agar peserta didik dapat belajar bersama, belajar untuk dapat
hidup bersama.
Sarana dan parasaran yang dibutuhkan
bagi tiap-tiap anak berkebutuhan khusus pada umumnya meliputi:
1. Alat asesmen
2. Alat
bantu fisik
3. Alat bantu
akademik
4. Orientasi dan
mobilitas bagi tiap-tiap kebutuhan khusus
5. Sarana dan
prasarana khusus yang diperlukan masing-masing siswa berkebutuhan khusus.
DAFTAR PUSTAKA
Abdrurahman, Mulyono.
1994. Pendidikan Bagi anak Berkesulitan
Belajar. Jakarta: PT.Gramedia
Abdul
Salim Choiri, dkk. 2009. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Secara
Inklusif. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Ambarwati. 2005. Penelitian Implementasi Pendidikan Agama
Islam bagi Nak berkebutuhan Khusus (ABK) di Skeolah Inklusi SMP N 4
MojosongoBoyolali Tahun Pelajaran 2013/2014. Salatiga
Freiberg, H.J. 1995.
Measuring School climate, Education leadhership.
Getskow dan Konczal.
1996. Kids With Special Needs Information
and Activities to Promote Awareness and Understanding. California: The
Learning Works
Kitano, M. K. &
Kirby, D. F. 1968. Gifted Education: A
Comprehensive View. Boston: Little, Brown and Company
Lynch, James. 1994. Proyection for Children with Special Need
Education in Asian Regio. USA: The World Bank
Mercer, Cecil D &
Mercer, Ann R.. 1989. Teaching Student
with Learning Problems. Aus: Merill Publishing Company A Bell & Howel
Information Company
Muhammad, Jamila. 2008. Special Education For Special Children.
Bandung: PT. Mizan Publika
Rochyadi & Alimin, 2005. Pengembangan Program
Pembelajaran Individual Bagi Anak Tunagrahita. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Direktorat P2TK dan KPT.
Syafei. 2003. Panduan Pengajaran ABK. Bandung: PT. Mizan Publika
UNESCO, (1998). Learning: The Treasure Within. Report to
UNESCO of the International Commission on Education for The Twenty first
Century, Perancis: Paris.